Kemiskinan Filsafat - Antitesis Nilai Pakai Dan Nilai Tukar

SEBUAH PENEMUAN ILMIAH

Antitesis Nilai Pakai Dan Nilai Tukar.


“Kemampuan semua produk, baik yang alamiah atau yang industrial, untuk menyumbang pada kehidupan manusia secara khusus diistilahkan nilai pakai; kapasitas mereka untuk disaling-tukarkan satu sama lain, nilai tukar... Bagaimanakah nilai pakai menjadi nilai tukar? ... Genesis ide mengenai nilai (tukar) belum diperhatikan dengan kecermatan secukupnya oleh para ahli ekonomi. Karenanya, menjadi perlu bagi kita untuk membahasnya. Karena sejumlah sangat besar barang yang aku butuhkan hanya terdapat dalam kuantitas-kuantitas sedang-sedang dalam alam, atau bahkan sama sekali tiada, maka aku terpaksa membantu dalam produksi barang-barang yang kubutuhkan. Dan karena aku tidak dapat menangani sendiri begitu banyak barang, aku akan menyarankan kepada orang-orang lain, para kolaboratorku dalam berbagai fungsi, untuk menyerahkan kepadaku sebagian produk-produk mereka sebagai tukar untuk produk-produkku.” (Proudhon, Vol.I, Bab.II.)

M. Proudhon berusaha, pertama-tama, menjelaskan kepada kita sifat rangkap nilai, “perbedaan dalam nilai,” proses dengan mana nilai pakai diubah menjadi nilai tukar. Kita perlu membahas dengan M. Proudhon mengenai tindak transubstansiasi (pergantian/perubahan makna) ini. Berikut ini adalah bagaimana tindak ini dilaksanakan, menurut penulis kita itu.

Sejumlah besar produk tidak dijumpai dalam alam, mereka adalah produk-produk industri. Jika kebutuhan manusia melampaui produksi spontan alam, ia terpaksa mencari jalan-keluar pada produksi industrial. Apakah industri ini dalam pandang-an M. Proudhon? Apakah asalusulnya? Seorang individu tunggal, yang merasakan kebutuhan akan sejumlah besar barang, “tidak dapat menangani sendiri begitu banyak barang.” Sebegitu banyak kebutuhan yang mesti dipenuhi, mensyaratkan sebegitu banyak barang yang mesti diproduksi – tidak ada produk-produk tanpa produksi. Sebegitu banyak barang yang mesti diproduksi sekaligus mensyaratkan lebih dari satu tangan manusia yang membantu memproduksi barang-barang itu. Nah, pada saat anda mengajukan lebih dari satu tangan yang membantu dalam produksi, anda serentak mensyaratkan suatu produksi menyeluruh yang didasarkan pada pembagian kerja. Dengan demikian kebutuhan, sebagaimana M. Proudhon mensyaratkannya, sendiri mensyaratkan seluruh pembagian kerja. Dalam mensyaratkan pembagian kerja, anda mendapat pertukaran, dan, sebagai konsekuensinya, nilai tukar. Orang sebetulnya dapat juga mensyaratkan nilai tukar itu dari awal-mula sekali.

Tetapi, M. Proudhon lebih menyukai jalan berputar itu. Mari kita mengikutinya dalam semua lika-likunya, yang selalu membawanya kembali pada titik berangkat ini.

Agar keluar dari kondisi di mana setiap orang berproduksi secara terpisah (dalam isolasi) dan untuk sampai pada pertukaran, “Aku berpaling pada para kolaboratorku dalam berbagai fungsi,” M. Proudhon berkata. Jadi, aku sendiri, mempunyai kolaborator- kolaborator, semuanya dengan fungsi-fungsi berbeda. Namun, dengan semua itu, aku dan semua orang lainnya, ini masih tetap menurut perkiraan M. Proudhon, tidak melangkah lebih jauh daripada kedudukan seorang-diri dan nyaris tak-bermasyarakat dari keluarga Robinson. Para kolaborator dan pertukaran yang disiratkannya, sudah siap berada.

Kesimpulannya: aku mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu yang didasarkan pada pembagian kerja dan pada pertukaran. Dalam mengandaikan kebutuhan-kebutuhan ini, M. Proudhon telah mensyaratkan pertukaran, nilai tukar, justru hal yang diniatkannya “untuk diperhatikan genesisnya dengan lebih cermat daripada yang dilakukan oleh para ahli ekonomi lainnya.”

M. Proudhon sebenarnya dapat juga membalikkan urutan persoalannya, tanpa sedikitpun mempengaruhi kecermatan kesimpulankesimpulannya. Untuk menjelaskan nilai tukar, mesti ada pertukaran. Untuk menjelaskan pertukaran, mesti ada pembagian kerja. Untuk menjelaskan pembagian kerja, mesti ada kebutuhan yang menjadikan perlunya pembagian kerja. Untuk menjelaskan kebutuhan-kebutuhan ini, mesti kita mensyaratkannya, yang berarti tidak mengingkarinya – berlawanan dengan aksioma pertama dalam prolog M. Proudhon: “Mensyaratkan (adanya) Tuhan adalah mengingkariNya.” (Prologue, hal.1.) Bagaimanakah M. Proudhon, yang menganggap pembagian kerja sebagai yang sudah diketahui, berusaha menjelaskan nilai tukar, yang baginya selalu sesuatu yang tidak-diketahui itu?

“Seseorang” mulai “menyarankan kepada orang-orang, para kolaboratornya dalam berbagai fungsi,” agar mereka menyelenggarakan pertukaran, dan membuat suatu perbedaan (penegasan) antara nilai biasa dan nilai tukar. Dalam menerima perbedaan/penegasan yang diusulkan itu, para kolaborator itu tidak “membebani” M. Proudhon lebih daripada perekaman kenyataan, menandai, “memperhatikan” dalam karyanya mengenai ekonomi-politik itu “genesis (asal-muasal) ide mengenai nilai.” Tetapi, ia masih mesti menjelaskan kepada kita “genesis” dari usulan ini, pada akhirnya mesti memberitahukan kepada kita bagaimana individu tunggal ini, Robinson ini, tiba-tiba mendapat ide untuk mengajukan “pada para kolaboratornya” suatu usul dari jenis yang diketahui dan bagaimana para kolaborator itu menerimanya tanpa sedikitpun protes.

M. Proudhon tidak memasuki hingga rincian-rincian genealogikal ini. Ia cuma membubuhkan sejenis cap historis pada kenyataan pertukaran, dengan menyajikannya dalam bentuk suatu usulan, yang diajukan oleh suatu pihak ketiga, agar pertukaran diselenggarakan. Itu sebuah contoh dari “ metode historis dan deskriptif ” M. Proudhon, yang bersikap teramat meremehkan “metode-metode historis dan deskriptif” para Adam Smith dan para Ricardo.

Pertukaran mempunyai sejarahnya sendiri. Ia telah menjalani berbagai tahapan.

Ada masanya, misalnya selama Abad-abad Pertengahan, ketika hanya kelebihan produksi yang berlimpah-limpah atas konsumsi, yang dipertukarkan.

Juga ada masanya, ketika tidak hanya produk-produk yang berkelebihan, melainkan semua produk, semua keberadaan industrial, telah beralih ke dalam perdagangan, ketika keseluruhan produksi bergantung pada pertukaran. Bagaimana mesti kita jelaskan tahap kedua dari pertukaran ini – nilai yang dapat dipasarkan pada pangkat keduanya?

M. Proudhon akan mempunyai jawaban yang siap-pakai: Anggaplah bahwa seseorang telah “ mengusulkan pada orang-orang lain, para kolaboratornya dalam berbagai fungsi,” untuk mengangkat nilai yang dapat dipasarkan pada pangkat keduanya.

Akhirnya, tibalah masanya ketika segala sesuatu yang dianggap orang sebagai (sesuatu) yang tidak terpisahkan/terasingkan (dari dirinya) menjadi suatu objek pertukaran, objek lalu-lintas dan dapat dipisahkan/ diasingkan. Inilah waktunya ketika justru segala sesuatu yang hingga saat itu telah dikomunikasikan, tetapi tidak pernah ditukarkan; yang diberikan, tetapi tidak pernah dijual; yang diperoleh, tetapi tidak pernah dibeli – kebajikan, cinta, keyakinan, pengetahuan, hati-nurani, dsb. – ketika segala sesuatu, singkatnya, beralih menjadi perdagangan. Itulah masanya korupsi umum, sogok-sogokan universal, atau, dikatakan dalam pengertian-pengertian ekonomi-politik, masa ketika segala sesuatu, moral atau fisikal, setelah menjadi suatu nilai yang dapat dipasarkan, dibawa ke pasar untuk dinilai pada nilainya yang paling tepat.

Sekali lagi, bagaimanakah dapat kita jelaskan tahap baru dan terakhir dari pertukaran – nilai yang dapat dipasarkan pada pangkat ketiganya?

M. Proudhon akan mempunyai jawaban yang siap-pakai: Anggaplah bahwa seseorang telah “mengusulkan pada orang-orang lain, para kolaboratornya dalam berbagai fungsi,” untuk menetapkan suatu nilai yang dapat dipasarkan dari kebajikan, cinta, dsb., untuk mengangkat nilai tukar pada pangkat ketiganya dan yang terakhir.

Kita melihat bahwa “metode historis dan deskriptif” M. Proudhon dapat diberlakukan pada segala sesuatu, yang menjawab segala sesuatu, yang menjelaskan segala sesuatu. Jika masalahnya terutama menjelaskan secara historis “ genesis suatu ide ekonomi,” maka ia mendalilkan seseorang yang mengusulkan pada orang-orang lain, “para kolaboratornya dalam berbagai fungsi,” agar mereka melaksanakan tindak genesis ini dan itulah akhir segala-galanya.

Seterusnya akan kita terima “ genesis” nilai tukar itu sebagai suatu tindak yang rampung; sekarang tinggal menguraikan hubungan antara nilai tukar dan nilai pakai. Mari kita dengar apa yang dikatakan M. Proudhon.

“Para ahli ekonomi telah dengan baik sekali menunjukkan watak rangkap dari nilai, tetapi yang tidak mereka tunjukkan dengan kecermatan serupa yalah sifatnya yang bertentang-tentangan;di sinilah kritik kita dimulai ... Adalah soal kecil untuk menarik perhatian pada perbedaan yang mengejutkan antara nilai pakai dan nilai tukar ini, di mana para ahli ekonomi lazimnya hanya melihat sesuatu yang sederhana sekali; kita mesti menunjukkan bahwa yang dianggap kesederhanaan ini menyembunyikan suatu misteri yang gelap sekali, yang adalah menjadi kewajiban kita untuk menyelkidikinya ... Dalam pengertian teknikal, nilai pakai dan nilai tukar adalah dalam rasio terbalik satu sama lain.”

Jika kita sepenuhnya menangkap pikiran M. Proudhon, maka empat soal berikut inilah yang hendak ditegakkannya:

1. Nilai pakai dan nilai tukar merupakan suatu kontras yang mengejutkan, mereka saling bertentang-tentangan satu sama lain.

2. Nilai pakai dan nilai tukar berada dalam rasio terbalik, dalam kontradiksi, satu sama lain.

3. Para ahli ekonomi tidak menanggapi dan juga tidak mengakui baik pertentangan atau kontradiksi itu.

4. Kritisisme M. Proudhon dimulai pada akhirnya.

Kita juga akan mulai dari akhirnya, dan, untuk membebas-kan/membersihkan para ahli ekonomi dari tuduhan-tuduhan M. Proudhon, akan kita biarkan dua ahli ekonomi yang cukup terkenal berbicara sendiri.

Sismondi: Adalah pada pertentangan antara nilai pakai dan nilai tukar, perdagangan telah mereduksi segala sesuatu, dsb. ( Etudes, Vol.II , hal.162 Edisi Brussel.)

Lauderdale: “Proporsional dengan peningkatan kekayaan individuindividu dengan suatu pertambahan nilai sesuatu barang-dagangan, kekayaan masyarakat pada umumnmya berkurang; dan proporsional dengan berkurangnya massa kekayaan-kekayaan individual, dengan mengecilnya nilai sesuatu barang-dagangan, kekayaannya pada umumnya meningkat, “Recherches sur la nature et l’origine de la richesse publique; diterjemahkan oleh Langentie de Lavaïsse. Paris, 1808 [hal.33].”[7]

Pada “pertentangan” antara nilai pakai dan nilai tukar itulah Sismondi mendasarkan doktrin utamanya, uyang menyatakan bahwa pengurangan/mengecilnya pendapatan adalah proporsional dengan peningkatan dalam produksi.

Lauderdale mendasarkan sistemnya pada rasio terbalik dari kedua jenis nilai itu, dan doktrinnya memang begitu populer pada zaman Ricardo, sehingga yang tersebut belakangan ini dapat berbicara tentang hal itu sebagai sesuatu yang diketahui secara umum. “Adalah dengan mengacaukan ide-ide mengenai nilai dan kekayaan, atau kemewahan timbulnya anggapan, bahwa dengan mengurangi kuantitas barang-barang dagangan, yaitu yang berarti, pengurangan kebutuhan-kebutuhan, kemudahan-kemudahan, dan kesenangan-kesenang-an kehidupan manusia, kekayaan-kekayaan itu dapat ditingkatkan.” “Ricardo, Principes de l’économie politique, terjemahan Constancio, anotasi oleh J.B. Say. Paris 1835; Vol.II, bab Sur la valeur et les richesses.[8]

Baru saja telah kita melihat bahwa para ahli ekonomi sebelum M. Proudhon telah “menarik perhatian” pada misteri mendalam mengenai pertentangan dan kontradiksi. Mari sekarang kita melihat bagaimana M. Proudhon pada gilirannya menjelaskan misteri ini setelah para ahli ekonomi itu.

Nilai tukar sesuatu produk jatuh dengan meningkatnya penawaran, dengan permintaannya tetap sama; dengan kata-kata lain, semakin berlimpah sesuatu produk itu secara “relatif dengan permintaan,” semakin rendah nilai tukarnya, atau harganya. Vice versa: Semakin lemah penawaran secara relatif dengan permintaan, semakin tinggi naiknya nilai tukar dari harga produk yang dipasok: dalam kata-kata lain, semakin besar kelangkaan produk-produk yang dipasok, secara relatif dengan permintaan, semakin tinggi pula harga-harganya. Nilai tukar suatu produk bergantung pada kelimpahannya atau kelangkaannya, tetapi selalu dalam hubungan dengan permintaan. Ambillah sebuah produk yang lebih daripada langka, yang unik dari jenisnya, terserah: produk yang unik ini akan lebih daripada berlimpah, ia akan berlebih-lebihan, apabila tiada permintaan akan barang itu. Di lain pihak, ambillah suatu produk yang diperbanyak dalam jutaan, ia akan selalu langka jika ia tidak memenuhi permintaan, yaitu, jika terdapat permintaan yang terlampau besar akan barang itu.

Inilah yang nyaris mesti kita sebut truisme-truisme (kebenarankebenaran yang tak dapat disangkal lagi), namun kita terpaksa mengulanginya di sini agar menjadikan misteri-misteri M. Proudhon itu masuk-akal/dapat dimengerti.

Sehingga, menindak-lanjuti azas itu hingga konsekuensi-konsekuensi terakhirnya, orang akan sampai pada kesimpulan, yaitu yang paling logikal di dunia, bahwa barang-barang yang kegunaannya kita tidak bisa tanpanya dan yang kuantitasnya tidak terbatas, seharusnya dapat diperoleh secara cuma-cuma, dan yang kegunaannya nol dan yang kelangkaannya ekstrim, mestinya bernilai melampaui segala perhitungan. Untuk menyumbat kesulitan itu, keekstriman-keekstriman ini adalah mutahil dalam praktek: di satu pihak, tiada produk manusia yang dapat tanpa-batas dalam banyaknya; di lain pihak, bahkan barang-barang yang paling langkah mestilah berguna hingga suatu derajat tertentu, kalau tidak maka barang-barang itu akan tiada-bernilai sama sekali. Nilai pakai dan nilai tukar dengan demikian secara tak-terpisahkan terikat satu sama lain, sekalipun berdasarkan sifatnya mereka terus- menerus cenderung saling-mengingkari. (Vol.I, hal. 39.)

Apakah yang menyumbat kesulitan M. Proudhon? Sederhana, bahwa ia telah lupa mengenai “permintaan,” dan bahwa suatu barang dapat langka atau berlimpah hanya sejauh ada permintaan akannya. Seketika ia meninggalkan masalah permintaan itu, ia mengidentifikasi nilai tukar dengan “kelangkaan” dan nilai pakai dengan “kelimpahan.” Sebenarnya, dengan mengatakan bahwa barang-barang “yang kegunaannya nol dan kelangkaan ekstrim adalah bernilai melampaui segala perhitungan,” ia cuma menyatakan bahwa nilai tukar hanya sekedar kelangkaan. “Kelangkaan ekstrim dan kegunaan nil” berarti kelangkaan semurninya. “Bernilai melampaui segala perhitungan” adalah maksimumnya nilai tukar, ia adalah nilai tukar semurninya. Ia menyamakan kedua pengertian ini. Maka itu nilai tukar dan kelangkaan adalah pengertian-pengertian/istilah-istilah kesamaan/kesetaraan. Dalam sampai pada yang dianggapnya “konsekuensi-konsekuensi ekstrim” ini, M. Proudhon sebenarnya telah membawa pada keekstriman, bukan barang-barang itu, tetapi istilah-istilah yang mengungkapkan mereka, dan, dengan berbuat demikian, ia menunjukkan kecakapan dalam retorika, lebih daripada dalam logika. Ia cuma menemukan kembali hipotesis-hipotesis yang pertama dalam seluruh ketelanjang-an mereka, ketika ia berpikir bahwa ia telah menemukan konsekuensi-konsekuensi baru. Berkat prosedur yang sama ia berhasil mengidentifikasi nilai pakai dengan kelimpahan semurninya.

Setelah menyetarakan/mempersamakan nilai tukar dan kelangkaan, nilai pakai dan kelimpahan, M. Proudhon heran sekali tidak menemukan nilai pakai dalam kelangkaan dan nilai tukar, juga tidak nilai tukar dalam kelimpahan dan nilai pakai; dan mengetahui bahwa keekstriman-keekstriman ini tidaklah mungkin dalam praktek, ia tidak dapat berbuat lain kecuali percaya pada misteri. Nilai yang tidak dapat diperhitungkan ada baginya karena tidak beradanya para pembeli, dan ia tidak akan pernah mendapatkan pembeli selama ia tidak memasukkan permintaan.

Di pihak lain, kelimpahan M. Proudhon sepertinya sesuatu yang spontan. Ia melupakan sama sekali bahwa ada orang-orang yang memproduksinya, dan bahwa menjadi kepentingan mereka untuk tidak meremehkan/memperhitungkan permintaan. Jika tidak begitu, bagaimana M. Proudhon dapat berkata bahwa barang-barang yang sangat berguna mesti mempunyai harga yang sangat rendah, bahkan tidak berongkos apapun? Sebaliknya, ia mestinya menyimpulkan bahwa kelimpahan, produksi dari barang-barang yang sangat berguna, mesti dibatasi jika harganya, yaitu nilai tukarnya, mau dinaikkan.

Para penanam-anggur tua dari Perancis, dalam berpetisi akan sebuah undang-undang yang melarang pembukaan kebon-kebon anggur baru; orang-orang belanda dengan membakar rempah-rempah Asiatik, dalam memusnahkan pohon-pohon cengkeh di Maluku, cuma berusaha mengurangi kelimpahan agar menaikkan nilai tukar. Selama seluruh Abad-abad Pertengahan azas yang sama ini diberlakukan, dengan undang-undang membatasi jumlah juru keliling yang dapat dipekerjakan seorang majikan tunggal dan jumlah peralatan yang dapat dipakainya. (Lihat Anderson, History of Commerce.)[9]

Setelah menyatakan kelimpahan sebagai nilai pakai dan kelangkaan sebagai nilai tukar – memang tiada yang lebih gampang daripada membuktikan bahwa kelimpahan dan kelangkaan berada dalam rasio terbalik – M. Proudhon mengidentifikasi nilai pakai dengan “penawaran” dan nilai tukar dengan “permintaan.” Agar menjadikan antitesis itu lebih tegas, ia menggantikan sebuah istilah baru, dengan menetapkan “nilai perkiraan/taksiran” sebagai gantinya “nilai tukar.” Pertempuran telah bergeser medan, dan di satu pihak kita dapatkan kegunaan(nilai pakai, penawaran), dan di pihak lain kita dapatkan ”taksiran” (nilai tukar, permintaan).

Siapakah yang mesti/akan mendamaikan kedua kekuatan bertentang-tentangan ini? Apakah yang harus dilakukan agar mereka menjadi selaras satu sama lain? Mungkinkah menemukan suatu titik perbandingan saja pada keduanya itu?

Sudah tentu, teriak M. Proudhon, ada satu – kehendak bebas. Harga yang dihasilkan dari pertempuran antara penawaran dan permintaan ini, antara kegunaan dan taksiran tidak akan menjadi ungkapan keadilan abadi.

M. Proudhon terus mengembangkan antitesis ini. Dalam kapasitasku sebagai seorang pembeli bebas, aku menjadi hakim atas kebutuhan-kebutuhanku, hakim atas penghasratan sesuatu objek, hakim atas harga yang aku bersedia bayar untuknya. Di lain pihak, dalam kapasitasmu sebagai seorang produser bebas, anda menjadi tuan atas cara-cara pelaksanaan, dan oleh karenanya anda memiliki kekuasaan untuk menurunkan pengeluaran-

Dan karena permintaan, atau nilai tukar, adalah identis dengan taksiran, M. Proudhon mesti berkata:

“Telah terbukti bahwa adalah kehendak bebas orang yang melahirkan pertentangan antara nilai pakai dan nilai tukar. Bagaimanakah pertentangan ini dapat disingkirkan, selama beradanya kemauan bebas? Dan bagaimana yang tersebut beklakangan itu dapat dikorbankan tanpa mengorbankan umat-manusia?” (Vol.I, hal. 41.)

Jadi, tidak dimungkinkan adanya jalan keluar. Terdapat suatu pergulatan antara dua –boleh dikata– kekuatan yang tidak dapat (saling) diperbandingkan, antara kegunaan dan taksiran, antara pembeli bebas dan produser bebas.

Mari kita bahas masalah ini secara lebih cermat.

Penawaran telah semata-mata mewakili kegunaan, permintaan tidak semata-mata mewakili taksiran/perkiraan. Tidakkah peminta itu juga menyuplai suatu produk tertentu atau yang tertentu yang mewakili semua produk, yaitu uang; dan sebagai penyuplai, tidakkah ia mewakili, menurut M. Proudhon, kegunaan atau nilai pakai?

Lagi, tidakkah pemasok juga meminta (menuntut) suatu produk tertentu atau yang tertentu yang mewakili semua produk, yaitu uang? Dan tidakkah ia dengan demikian menjadi perwakilan dari taksiran, dari taksiran nilai atau dari nilai tukar?

Permintaan adalah sekaligus suatu penawaran, penawaran adalah sekaligus suatu permintaan. Demikian antitesis M. Proudhon, dengan semata-mata mengidentifikasi penawaran dan permintaan, yang satu dengan kegunaan, yang lain dengan taksiran/perkiraan, hanya didasarkan pada suatu abstraksi sia-sia.

Yang disebut M. Proudhon sebagai nilai pakai disebut nilai taksiran oleh para ahli ekonomi lain, dan itu dengan sepenuh hak mereka. Kita hanya akan mengutib Storch ( Cours d’économie politique, Paris 1823, hal. 48 dan 49).[1 0]

Menurut Storch, “kebutuhan-kebutuhan” adalah barang-barang yang padanya kita merasakan kebutuhan itu; “nilai-nilai” adalah barang-barang yang kepadanya kita mengatributikan nilai. Kebanyakan barang mempunyai nilai hanya karena mereka memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang ditimb ulkan oleh perkiraan. Perkiraan mengenai kebutuhan-kebutuhan kita dapat berubah; maka itu kegunaan barangbarang, yang hanya mengungkapkan hubungan barang-barang ini dengan kebutuhan-kebutuhan kita, juga dapat berubah. Kebutuhan-kebutuhan alami itu sendiri juga terus berubah. Memang, apakah yang dapat lebih berubah-ubah (bervariasi) daripada objek-objek yang merupakan makanan pokok berbagai-bagai rakyat!

Konflik itu tidak terjadi antara kegunaan dan perkiraan; ia berlangsung antara nilai yang dapat dipasarkan yang dituntut oleh pemasok dan nilai yang dapat dipasarkan yang dipasok oleh peminta. Nilai tukar produk itu setiap saat merupakan hasil (resultant) penilaian-penilaian (apresiasi) yang bertentang-tentangan ini.

Dalam analisis akhirnya, penawaran dan permintaan mengumpul-kan/ mempersatukan produksi dan konsumsi, tetapi produk dan konsumsi berdasarkan pertukaran-pertukaran individual.

Produk yang dipasok itu bukanklah kegunaan pada dirinya sendiri (kegunaan itu sendiri). Adalah konsumer yang menentukan kegunaannya. Dan bahkan apabila kualitasnya sebagai sesuatu yang berguna itu diakui, ia tidak semata-mata mewakili kegunaan. Dalam proses produksi, ia telah dipertukarkan untuk semua ongkos produksi, seperti bahan mentah, upah kaum buruh, dsb., yang kesemuanuya merupakan nilai-nilai yang dapat dipasarkan. Produk itu, oleh karenanya, mewakili –di mata produser itu– suatu jumlah keseluruhan dari nilai-nilai yang dapat dipasarkan.

Yang dipasoknya itu tidak hanya sebuah objek yang berguna, tetapi juga dan terutama suatu nilai yang dapat dipasarkan.

Sedangkan yang mengenai permintaan, ia akan efektif jika disertai persyaratan bahwa ia memiliki cara/alat untuk dilakukannya pertukaran. Cara-cara/alat-alat itu sendiri adalah produk-produk, nilai yang dapat dipasarkan.

Jadi, dalam penawaran dan permintaan kita mendapatkan, di satu pihak, sebuah produk yang telah berongkoskan nilai-nilai yang dapat dipasarkan, dan kebutuhan untuk menjual; di lain pihak, cara-cara/alatalat yang berongkoskan nilai-nilai yang dapat dipasarkan, dan hasrat untuk membeli.

M. Proudhon mempertentangkan “pembeli bebas” dengan “produser bebas.” Kepada yang satu dan kepada yang lainnya ia mengatributkan/mensifatkan kualitas-kualitas yang semurninya metafisikal. Inilah yang membuatnya berkata: “Telah terbukti bahwa adalah kemauan bebas orang yang melahirkan pertentangan antara nilai pakai dan nilai tukar.” [I 41]

Produser itu, pada saat ia memproduksi dalam suatu masyarakat yang berdasarkan pembagian kerja dan pada pertukaran (dan itulah hipotesis M. Proudhon), dipaksa untuk menjual M. Proudhon menjadikan produser itu tuan atas alat-alat produksi; tetapi ia akan sependapat dengan kita bahwa alat-alat produksinya itu tidak bergantung pada “kehendak bebas.” Lagi pula, banyak dari alat-alat produksi ini adalah produk-produk yang diperolehnya dari luar, dan dalam produksi modern ia bahkan tidak bebas untuk memproduksi jumlah yang dikehendakinya. Derajat perkembang-an sebenarnya/aktual dari kekuatan-kekuatan produktif memaksanya untuk memproduksi pada sesuatu skala tertentu.

Konsumer tidaklah lebih bebas dari produser. Penilaian-penilaiannya bergantung pada alat-alat dan kebutuhan-kebutuhannya. Dan keduaduanya ini ditentukan oleh posisi sosialnya, yang sendiri bergantung pada seluruh organisasi sosial. Memang benar, si pekerja yang membeli kentang dan wanita peliharaan yang membeli kain renda, kedua-duanya mengikuti penilaian-penilaian masing-masing. Tetapi perbedaan dalam penilaian-penilaian mereka dijelaskan dengan perbedaan dalam kedudukan yang punyai di dunia, dan yang itu sendiri adalah produk-produk dari organisasi sosial.

Adakah seluruh sistem kebutuhan itu berlandaskan perkiraan atau pada keseluruhan organisasi produksi? Yang paling sering, kebutuhan-kebutuhan timbul langsung dari produksi atau dari suatu keadaan yang berdasarkan produksi. Perdagangan dunia hampir seluruhnya berputar sekitar kebutuhan-kebutuhan, bukan dari konsumsi individual, tetapi dari produksi. Dengan demikian, untuk memilih sebuah contoh lain, tidakkah kebutuhan akan pengacara-pengacara mengandaikan suatu hukum sipil tertentu yang cuma merupakan ekspresi dari suatu perkembangan kepemilikan tertentu, yaitu, dari produksi?

Bagi M. Proudhon tidak cukup dengan melenyapkan unsur-unsur yang baru saja disebut itu dari hubungan penawaran dan permintaan. Ia membawa abstraksi hingga batas-batas paling jauh ketika ia melebur semua produser menjadi seorang produser tunggal, semua konsumer menjadi “seorang konsumer tunggal,” merekayasa suatu pergulatan antara kedua tokoh khayalan ini. Tetapi dalam dunia nyata, peristiwa-peristiwa terjadi secara lain. Persaingan di antara para pemasok (penyedia/penjual) dan persaingan di antara para peminta (pembeli) merupakan suatu bagian keharusan dari pergulatan antara para pembeli dan para penjual, yang hasil daripadanya adalah nilai yang dapat dipasarkan.

Setelah menyingkirkan persaingan dan ongkos produksi, M. Proudhon dapat dengan santai mereduksi perumusan mengenai penawaran dan permintaan menjadi suatu absurditas.

Penawaran dan permintaan, ia mengatakan, cuma dua bentuk seremonial yang gunanya untuk menghadap-hadapkan nilai pakai dan nilai tukar satu sama lain, dan untuk membawa pada perujukan mereka. Mereka adalah dua kutub elektrik yang, apabila disambungkan, mesti memproduksi gejala afinitas yang disebut pertukaran. (Vol.I, hal.49 dan50.)

Orang bisa juga mengatakan bahwa pertukaran hanyalah sebuah bentuk seremonial untuk memperkenalkan konsumer pada objek konsumsi, Orang bisa juga mengatakan bahwa semua hubungan ekonomikal adalah “bentuk-bentuk seremonial” yang melayani konsumsi langsung sebagai perantara-perantara. Penawaran dan permintaan bukanlah kurang ataupun lebih merupakan hubungan-hubungan suatu produksi tertentu, daripada pertukaran-pertukaran individual.

Lalu, terdiri atas apakah seluruh dialektika M. Proudhon itu? Dalam menggantikan bagi nilai pakai dan nilai tukar, bagi penawaran dan permintaan, bagi pengertian-pengertian abstrak dan bertentang-tentangan seperti kelangkaan dan kelimpahan, kegunaan dan taksiran/perkiraan, seorang produser dan seorang konsumer, kedua- dua mereka itu “kesatria-kesatria kehendak bebas.”

Dan ke manakah arah tujuannya?

Mengatur bagi dirinya sendiri suatu cara untuk kelak mengintroduksikan salah-satu dari iunsur-unsur yang telah disediakannya, “ongkos produksi,” sebagai “sintesis” nilai pakai dan nilai tukar. Dan demikian itulah dalam pandangannya, ongkos produksi merupakan “nilai sintetik” atau nilai bentukan.”

The Age Vs Susilo Bambang Yudhoyono

Belakangan ini Makin kuatnya tembak menembak antar The Age dengan SBY semakin kuat dipublikasikan oleh media berita. SBY yang menuntut agar "The Age" meminta maaf atas berita yang diterbitkannya, namun "The Age" menolak untuk meminta maaf kepada SBY, malahan "The Age" Menantang SBY untuk menyelidiki tuduhan dari bocoran WikiLeaks tersebut.

Seperti yang kita ketahui "The Age" menjadikan berita tetang Presiden RI itu sebagai Headline di Majalah berita mereka. Siapa yang tidak geram!!? dengan tindakkan seperti itu jika memang itu tidak benar. Tindakkan yang tepat adalah Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono harus mengklarifikasi tudingan tersebut dengan cara membuktikkan bahwa isu tersebut tidaklah benar. Namun dari berbagai berita yang dilansir. SBY malah mengatakan Isu itu tidak ush ditanggapi atau diperpanjang!!?? sungguh hal yang sangat rancu dari tindakkan seorang yang mengatakan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia.


Pemerintah harus mengusut isu ini agar nama baik Instansi Pemerintahan Indonesia tidak tercemar. Jika seorang pemimpin sendiri melakukan hal yang tidak baik, maka nama baik negara ini pun terkena imbasnya pula, termasuk rakyat indonesia itu sendiri. untuk itulah Demi mewujudkan demokrasi sangat penting mengusut tudingan-tudingan yang dilontarkan oleh WikiLeaks.

The Age Vs Indonesia

BOM Maret 2011

Hiruk pikuk tentang santernya pemberitaan situasi nasional, tak pula kunjung usai. Mulai pemberitaan berita harian australia "THE AGE" tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, namun itu menimbulkan reaksi yang rancu dari seorang pemimpin dari partai yang dipimpin olehnya "Partai Demokrat" yang seharusnya menjunjung tinggi demokrasi. The Age sendiri melansirkan bahwa SBY terlibat kasus korupsi dan melakukan penyalahgunaan jabatan demi melancarkan tindak korupsi kroninya di Indonesia.

Dan baru-baru ini pemberitaan tentang kegiatan terorisme yang menebar TEROR BOM. Dimulai dari BOM rakitan yang berupa paket buku kiriman yang dialamatkan ke KBR 68H utan kayu, yang disusul kemudian di kantor BNN, di kediaman Yapto ketua Pemuda Pancasila, dan selanjutnya di kediaman Ahmad Dhani Mantan Pentolan Dewa 19. Pola-pola yang dilakukan serupa dengan kiriman bom yang disebutkan diatas. Dari pola-pola ini ada kemungkinan bahwa TEROR BOM ini merupakan dari satu mata rantai yang berkelanjutan. Dan pertanyaannya adalah, Apa maksud dari pelaku TEROR BOM!! isu-isu pun dilontarkan masyarakat mulai dari pengalihan isu orang nomor satu di Indonesia yang saat ini santer di isukan menyalah gunakan kekuasaan untuk tindak korupsi dan berbagai macam spekulasi pun dilontarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat. Kemudian akankah Misteri Teror BOM ini dapat terkuak..!!??

Biar waktu yang membuktikan kebenarannya..!!!

Karl Marx

Karl Heinrich Marx (lahir di Trier, Jerman, 5 Mei 1818 – meninggal di London, 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia.

Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis.


Biografi

Karl Marx adalah seseorang yang lahir dari keluarga progresif Yahudi. Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi, walaupun begitu ayahnya cenderung menjadi deis, yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama resmi Prusia, Protestan aliran Lutheran yang relatif liberal untuk menjadi pengacara.[1] Herschel pun mengganti namanya menjadi Heinrich.[1] Saudara Herschel, Samuel — seperti juga leluhurnya— adalah rabi kepala di Trier.[1] Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl Marx.

 Pendidikan

Marx menjalani sekolah di rumah sampai ia berumur 13 tahun. Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx melanjutkan pendidikan nya di Universitas Bonn jurusan hukum pada tahun 1835.

Pada usia nya yang ke-17, dimana ia bergabung dengan klub minuman keras Trier Tavern yang mengakibatkan ia mendapat nilai yang buruk. Marx tertarik untuk belajar kesustraan dan filosofi, namun ayahnya tidak menyetujuinya karena ia tak percaya bahwa anaknya akan berhasil memotivasi dirinya sendiri untuk mendapatkan gelar sarjana. Pada tahun berikutnya, ayahnya memaksa Karl Marx untuk pindah ke universitas yang lebih baik, yaitu Friedrich-Wilhelms-Universität di Berlin. Pada saat itu, Marx menulis banyak puisi dan esai tentang kehidupan, menggunakan bahasa teologi yang diwarisi dari ayahnya seperti ‘The Deity’ namun ia juga menerapkan filosofi atheis dari Young Hegelian yang terkenal di Berlin pada saat itu. Marx mendapat gelar Doktor pada tahun 1841 dengan tesis nya yang berjudul ‘The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature’ namun, ia harus menyerahkan disertasi nya ke Universitas Jena karena Marx menyadari bahwa status nya sebagai Young Hegelian radikal akan diterima dengan kesan buruk di Berlin. Marx mempunyai keponakan yang bernama Azariel, Hans, dan Gerald yang sangat membantunya dalam semua teori yang telah ia ciptakan.

Di Berlin, minat Marx beralih ke filsafat, dan bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai Pemuda Hegelian. Sebagian dari mereka, yang disebut juga sebagai Hegelian-kiri, menggunakan metode dialektika Hegel, yang dipisahkan dari isi teologisnya, sebagai alat yang ampuh untuk melakukan kritik terhadap politik dan agama mapan saat itu.

Pada tahun 1981 Marx memperoleh gelar doktor filsafatnya dari Universitas Berlin, sekolah yang dulu sangat dipengaruhi Hegel dan para Hegelian Muda, yang suportif namun kritis terhadap guru mereka. Desertasi doktoral Marx hanyalah satu risalah filosofis yang hambar, namun hal ini mengantisipasi banyak gagasannya kemudian. Setelah lulus ia menjadi penulis di koran radikal-liberal. Dalam kurun waktu sepuluh bulan bekerja disana menjadi editor kepala. Namun, karena posisi politisnya, koran ini ditutup sepuluh bulan kemudian oleh pemerintah. Esai-esai awal yang di publikasikan pada waktu itu mulai merefleksikan sejumlah pandangan-pandangan yang akan mengarahkan Marx sepanjang hidupnya. Dengan bebas, esai-esai tersebut menyebarkan prinsip-prinsip demokrasi, humanisme, dan idealisme muda. Ia menolak sifat abstrak filsafat Hegelian, impian naif komunis utopis, dan para aktivis yang menyerukan hal-hal yang dipandangnya sebagai aksi politik prematur.

Ketika menolak aktivis-aktivis tersebut, Marx meletakkan landasan karyanya. Marx terkenal karena analisis nya di bidang sejarah yang dikemukakannya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ (1848) :” Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.” Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat(kaum paling bawah di negara Romawi).

Akhir dari Kapitalisme

Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme.

Di lain tangan, Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja internasional.“Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini. Hasil dari pergerakan ini kita yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis.Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada saat ini. Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil dari yang lingkungan yang ada dari saat ini. – Ideologi Jerman-

Hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi.Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini. Dalam bukunya Marx, Das Kapital (2006), penulis biografi Francis Wheen mengulangi penelitian David McLellan yang menyatakan bahwa sejak Marxisme tidak berhasil di Barat, hal tersebut tidak menjadikan Marxisme sebagai ideologi formal, namun hal tersebut tidak dihalangi oleh kontrol pemerintah untuk dipelajari.

Marx Menikah pada tahun 1843 dan segera terpaksa meninggalkan Jerman untuk mencari atmosfir yang lebih liberal di Paris. Disana ia terus menganut gagasan Hegel dan para pendukungnya, namun ia juga mendalami dua gagasan baru –sosialisme Prancis dan ekonomi politik Inggris. Inilah cara uniknya mengawinkan Hegelianisme, sosialisme, dengan ekonomi politik yang membangun orientasi intelektualitasnya.

Di Perancis ia bertemu dengan Friedrich Engels sahabat sepanjang hayatnya, penopang finansialnya dan kolaboratornya. Engels adalah anak seorang pemilik pabrik tekstil, dan menjadi seorang sosialis yang bersifat kritis terhadap kondisi yang dihadapi oleh para kelas pekerja. Kendati Marx dan Engels memiliki kesamaan orientasi teoritis, ada banyak perbedaan diantara kedua orang ini. Marx cenderung lebih teoritis, intelektual berantakan, dan sangat berorientasi pada keluarga. Engels adalah pemikir praktis, seorang pengusaha yang rapi dan cermat, serta orang yang sangat tidak percaya pada institusi keluarga. Banyak kesaksian Marx atas nestapa kelas pekerja berasal dari paparan Engels dan gagasan-gagasannya. Pada tahun 1844 Engels dan Marx berbincang lama disalah satu kafe terkenal di Prancis dan ini mendasari pertalian seumur hidup keduanya. Dalam percakapan itu Engels mengatakan, "Persetujuan penuh kita atas arena teoritis telah menjadi gamblang...dan kerja sama kita berawal dari sini." Tahun berikutnya, Engels mepublikasikan satu karya penting, The Condition of the Working Class in England. Selama masa itu Marx menulis sejumlah karya rumit (banyak diantaranya tidak dipublikasikan sepanjang hayatnya), termasuk The Holy Family dan The German Ideology (keduanya ditulis bersama dengan Engels), namun ia pun menulis The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, yang memayungi perhatiannya yang semakin meningkat terhadap ranah ekonomi.

Di tengah-tengah perbedaan tersebut, Marx dan Engels membangun persekutuan kuat tempat mereka berkolabirasi menulis sejumlah buku dan artikel serta bekerja sama dalam organisasi radikal, dan bahkan Engels menopang Marx sepanjang hidupnya sehingga Marx menagbdikan diri untuk petualang politik dan intelektualnya. Kendati mereka berasosiasi begitu kuat dengan nama Marx dan Engels, Engels menjelaskan bahwa dirinya partner junior Marx.

Sebenarnya banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal memahami karya Marx.[8] Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara terkemuka bagi teori Marxian dan dengan mendistorsi dan terlalu meyederhanakan teorinya, meskipun ia tetap setia pada perspektif politik yang telah ia bangun bersama Marx. Karena beberapa tulisannya meresahkan pemerintah Prussia, Pemerintahan Prancis pada akhirnya mengusir Marx pada tahun 1945, dan ia berpindah ke Brussel. Radikalismenya tumbuh, dan ia menjadi anggota aktif gerakan revolusioner internasional. Ia juga bergabung dengan liga komunis dan diminta menulis satu dokumen yang memaparkan tujuan dan kepercayaannya. Hasilnya adalah Communist Manifesto yang terbit pada tahun 1848, satu karya yang ditandai dengan kumandang slogan politik.

Pada tahun 1849 Marx pindah ke London, dan karena kegagalan revolusi politiknya pada tahun 1848, ia mulai menarik diri dari aktivitas revolusioner lalu beralih ke penelitian yang lebih serius dan terperinci tentang bekerjanya sistem kapitalis. Pada tahun 1852, ia mulai studi terkenalnya tentang kondisi kerja dalam kapitalisme di British Museum. Studi-studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Capital, yang jilid pertamanya terbit pada tahun 1867; dua jilid lainnya terbit setelah ia meninggal. Ia hidup miskin selama tahun-tahun itu, dan hampir tidak mampu bertahan hidup dengan sedikitnya pendapatan dari tulisan-tulisannya dan dari bantuan Engels.

Pada tahun 1864 Marx terlibat dalam aktivitas politik dengan bergabung dengan gerakan pekerja Internasional. Ia segera mengemuka dalam gerakan ini dan menghabiskan selama beberapa tahun di dalamnya. Namun disintegrasi yang terjadi di dalam gerakan ini pada tahun 1876, gagalnya sejumlah gerakan revolusioner, dan penyakit yang dideritanya menandai akhir karier Marx. Istrinya meninggal pada tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882, dan Marx sendiri meninggal pada tanggal 14 Maret 1883.

Dalam hidupnya, Marx terkenal sebagai orang yang sukar dimengerti. Ide-ide nya mulai menunjukkan pengaruh yang besar dalam perkembangan pekerja segera setelah ia meninggal. Pengaruh ini berkembang karena didorong oleh kemenangan dari Marxist Bolsheviks dalam Revolusi Oktober Rusia.Ide Marxian baru mulai mendunia pada abad ke-20.

Biography Tan Malaka

Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 19 Februari 1896 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 16 April 1949 pada umur 53 tahun) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin sosialis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan sosialis, ia juga sering terlibat konflik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan sosialis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.
Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.

Riwayat 

  • Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda. 

  • Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
  • Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
  • Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka di undang dalam acara tersebut.
  • Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
  • Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.

 

Perjuangan

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."

 

Madilog

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.

 

Pahlawan

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

 

Tan Malaka dalam fiksi

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Perancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah:
  • Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
  • Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
  • Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
  • Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
  • Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)

 

 

Buku

  • Menuju Republik Indonesia (1924)
  • Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi
  • Madilog (1948)
  • Gerpolek (1948)
  • Parlemen atau Soviet (1920)
  • SI Semarang dan Onderwijs (1921)
  • Dasar Pendidikan (1921)
  • Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
  • Semangat Muda (1925)
  • Massa Actie (1926)
  • Pandangan Hidup (1948)
  • Kuhandel di Kaliurang (1948)
  • Muslihat (1945)
  • Pari International (1927)
  • Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
  • Aslia Bergabung (1943)
  • Pari dan Nasionalisten (1927)
  • Pari dan PKI (1927)
  • Politik (1945)
  • Manifesto Bangkok(1927)
  • Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)

 

Revolusi di Indonesia kini

Masalah politik, ekonomi dan sosial mungkin menimbulkan revolusi di Indonesia. Namun apakah mungkin Revolusi itu terjadi?? tentu sangat mungkin terjadi revolusi di Indonesia. Melihat keadaan saat ini; kekayaan dan kekuasaan sudah mengarah kepada beberapa gpenganut kapitalis, keaadaan rakyat yang nyata-nyatanya semakin miskin, melarat dan ditindas disana-sini demi kepentingan golongan kaum kapitalis, pertentangan antar golongan ras dan kebangsaan maik tajam, pemerintah Indonesia yang semakin gencar menutupi kebohongan-kebohongannya terhadap rakyat, bangsa Indonesia dari hari kehari bertambah kerevolusionerannya dan tak mengenal damai.

Revolusi Indonesia ku, sejahtera bangsa ku

Sehebat apapun rancangan mu, sekuat apapun pasukan mu. Dibawah naungan Sang Pencipta, kami para generasi penerus bangsa tidak akan pernah tinggal diam, ketika kami sadar bahwa telah terjadi kebohongan demi kebohongan untuk menutupi segala kebusukkan kuasa tirani.

Segala cara kau lakukan untuk menindas kami, segala cara pula kami lakukan untuk melawan mu ya kuasa tirani. Lihatlah, Tuhan tidak akan berpihak kepada orang-orang yang mengambil hak yang bukan miliknya, mengambil hak-hak rakyat kecil dengan tipu muslihat mereka.

"Biar Waktu yang menjawab Revolusi Indonesia ku"

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls