Makanan Yang Dilarang
Ada daging hewan yang dilarang untuk dimakan sesuai dengan iman Sabian, yakni semua jenis bangkai; semua hewan yang dibunuh tanpa darah mengalir keluar, semua jenis karnivora dengan kuku belah, terutama babi dan anjing, burung pemangsa dan keledai. (Ini semua dilarang. Dalam Yudaisme disebut 'herem', dan dalam Islam 'haram' QS 5:3). Babi dilarang dalam Yudaisme, (Perjanjian Lama Imamat, Ulangan 14:8), dan akibatnya Islam pun melakukan pelarangan yang sama. Larangan babi berasal dari kaum Sabian dan mereka yang hidup jauh sebelum kitab Perjanjian Lama dikanonkan. Ini adalah maslaah larangan totem. Babi adalah binatang totem. Para anggota klan membangun ikatan antara binatang totem dan diri mereka sendiri. Menurut orang-orang ini binatang totem memiliki karakter yang luar biasa, beratribut super, dan dapat melindungi anggota klan. Itulah sebabnya hewan ini tidak harus dibunuh, dagingnya tidak boleh dikonsumsi. Babi adalah hewan dewa yang adalah musuh Osiris, menurut Herodotus. Dan bahwa dewa itu disebut 'babi.' Ini adalah dewa malam dan pelindung kejahatan. Pada malam terang bulan babi dikorbankan untuk bahwa sang dewa dan dagingnya dikonsumsi pada upacara-upacara tersebut (sebagai simbol penyatuan antara binatang totem dengan klan tersebut). Menurut Ibn Nadim, kaum Sabiun terbiasa mengorbankan babi bagi para dewa mereka sekali setiap tahun dan daging babi itu dikonsumsi.
Jadi, dalam tradisi kaum Sabian, babi adalah binatang totem yang tabu untuk dimakan, tapi dilain pihak ia dikorbankan kepada para dewa dan dagingnya dimakan bersama pada upacara itu sebagai simbol ikatan antara binatang totem dengan klan yang dilindunginya. Siapakah kaum Sabian ini ? Apa yang nantinya disebut agama Sabian sebenarnya adalah agama dimana Ibrahim / Abraham berasal, menurut beberapa penulusuran sejarah kritis. Tokoh legenda Abraham berasal dari lingkaran sekte keagamaan purba ini yang begitu terkenal, karismatik dan berpengaruhnya sehingga nantinya ketika agama Yudaisme diformulasikan di abad-abad 9 – 7 SM, maka Abraham dijadikan patriakh milik bangsa Israel, dan ajaran2 agamanya diserap dan dikontekstualkan dengan kebutuhan mereka saat itu, termasuk perihal pelarangan memakan babi.
2. Geografis Israel
Menurut tuturan kitab-kitab Perjanjian Lama, kita mempelajari bahwa bangsa Israel Raya setelah dipimpin oleh Daud dan Sulaeman yang masing-masing berkuasa selama 40 harus terbagi kedalam 2 kerajaan: Yudea di selatan dengan ibukotanya Yerusalem, dan Israel di utara dengan ibukotanya Samaria. Dikatakan bahwa sepuluh suku Israel memberontak melawan cucu dari Daud dan mendirikan kerajaan sendiri di utara beserta agama-agamanya sendiri. Sedangkan kerajaan Yudea di selatan tetap mencoba taat pada agama nenek moyangnya, agama Musa.
Namun kisah di atas hanya kisah teologis yang belum tentu benar-benar menyejarah. Pada tahun 2000an dua orang arkeolog Israel Neil Silbermann dan Israel Finkelsteinn melakukan ekskavasi di tempat-tempat bersejarah seperti Megiod, Ai, Yerusalem dll dan menemukan hal-hal yang mengejutkan. Mereka mendapati kisah-kisah tentang Daud dan Sulaeman sebagai tokoh yang benar-benar ada, namun hidup mereka jauh terpisah jarak jamannya. Bahkan di jaman Daud, kemungkinan Yerusalem bukan kota kerajaan besar, mungkin hanya sebuah desa kecil ! Sangat mungkin bahwa kisah-kisah yang kita kenal tentang dinasti Daud ini hanyalah kisah karangan yang ditulis oleh penguasa Yudea untuk kepentingan politiknya. Yudaisme, Kristen dan Islam menerima kisah-kisah itu begitu saja sebagai sejarah suci, padahal tidak demikianlah apa yang benar-benar terjadi.
Kedua arkeolog ini menerbitkan buku berjudul : The Bibel Unearthed. Dan dalam buku itu mereka mengupas perbedaan antara 2 kerajaan. Kerajaan Israel di utara tampaknya kerajaan yang makmur, sebab terletak di daerah yang makmur dan cukup mendapatkan air dari sumber sungai Jordan. Sedangkan kerajaan selatan, Yudea, adalah kerajaan kecil yang ngampung dengan peradaban yang begitu bersahaja. Ini sangat berbeda dengan apa yang dapat dibaca dalam kitab-kitab Perjanjian Lama di mana Tuhan / Allah mencintai Yudea dan membenci Israel yang suka menyembah berhala.
Dari ekskavasi lebih lanjut, di utara ditemukan tulang belulang babi, sedangkan di selatan tidak pernah ditemui satupun. Dari segi geografis hala ini dianggap wajar karena kontur tanah Yudea yang berbukit-bukit dan kering tidak memungkinkan hutan-hutan yang rimbun dan perladangan yang memadai. Tampaknya memang babi tidak pernah hidup di sana. Apalagi kerajaan Yudea berbatasan dengan Padaang Gurun Sinai yang kering, nampaknya wajar bahwa kehidupan sangat keras dan kurang maju. Sedangkan negara Israel di utara berbatasan dengan Libanon, dan datarang tinggi Golan Syria yang sejuk.
Pada abad 8 SM, seiring dengan menguatnya kerajaan Asyur / Syria di utara, akhirnya kerajaan Israel di utara dihancurkan oleh Asyur, dan rakyat di utara melarikan diri ke Yudea di selatan. Pada saat itu kota Yerusalem yang tadinya kecil dan tidak berkembang, tiba-tiba dibanjiri oleh orang-orang utara dan berkembang 10 kali dari sebelumnya. Ketika suatu kota dan kerajaan berkembang tanpa kendali, apa lagi di masa peperangan, maka social-cost nya sangatlah tinggi, kejahatan, plot-plot politik, kudeta dsb adalah umum. Pada saat itu raja yang berkuasa di Yudea, Josiah, mengambil tindakan politis yang brilian. Karena suku-suku dari utara memiliki agama-agama yang berbeda, dengan suku-suku di selatan, maka ia mengambil keputusan untuk memformulasikan agama baru yang lebih ketat untuk mewadahi aspirasi spiritual rakyatnya dan tujuan politis dinastinya. Dari sinilah ia mengambil agama musa sebagai agama kerajaan dan YHWH sebagai allah kerajaan itu. Praktek-praktek agama politeistik dari utara dilarang, kuil-kuil persembahan pada Baal di bakar, imam-imamnya dibunuh. Mulai dari sinilah sebenarnya sebagian dari kisah-kisah Perjanjian Lama berevolusi ke dalam bentuk yang kita kenal sekarang.
Apakah benar Musa pernah ada? mungkin, tapi yang jelas ia tidak membawa setidaknya 2 juta bangsa Israel keluar dari Mesir melewati laut, dan berputar-putar selama 40 tahun di gurun Sinai seperti yang dipercayai oleh Yudaisme, Kristen dan Islam. Fakta arkeologis menyebutkan tidak pernah ada catatan tentang keluarnya bangsa Israel dari Mesir dalam jumlah besar, dan tidak pernah ada kejadian 10 tulah allah di Mesir. Bahkan di Gurun Sinai tidak pernah didapati fosil atau sisa-sisa apapun yang menunjukkan ada suatu bangsa pernah berkeliaran di gurun itu selama 40 tahun !
Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Untuk apa kisah-kisah itu dituliskan? apa tujuannya? Tujuan penulisan kisah-kisah itu diabad 7 SM oleh para penulis kitab di bawah instruksi Raja Yosia adalah untuk membangun sebuah kerajaan yang kuat, menyatukan mereka yang berbeda secara agama dan adat ke dalam satu negara-bangsa yang kuat dibawah panji-panji semangat keagamaan : one God (Yahwe). one king (Yosia), one dinasty (Daud), one priest (Harun) one Prophet (Musa), one religion (Yudaisme) ! Pahamkah anda sekarang ?
Yahwe, tuhan bangsa Israel, tadinya bukan satu-satunya dewa dalam masyarakat Yudea dan Israel. Pada jaman itu ada banyak dewa sesembahan mereka. Yahweh hanyalah salah satu darinya. Ada banyak dewa sesembahan bangsa kanaan dan Israel, diantaranya adalah Baal, Asyitoret, Dagon dll. Bahkan Yahweh memiliki seorang istri, namanya dewi Asherah, dewi kesuburan ! Sekarang dengan mengetahui fakta-fakta ini, masihkah kita berpikir ada sejarah suci agama yang bersifat faktual dan linear yang memuncak pada suatu figur nabi misalnya Musa, Yesus atau Muhammad? Ternyata faktanya adalah manusialah yang mengangkat sesosok dewa jadi tuhan dan allahnya, bukan sebaliknya, tuhan mengangkat seorang nabi dan suatu bangsa !
Musa, kalaupun tokoh ini pernah ada, tidak secara langsung bertanggung jawab atas pembentukan agama Yudaisme dan kanonisasi kitab-kitab Taurat yang terjadi ratusan tahun setelah ia wafat. Hal yang sama terjadi dengan agama kristen, dan Islam. Kelak imperialis Arab melakukan hal yang sama yakni mengangkat suatu tokoh dan agama tertentu, memoles kisah-kisah berdasarkan motif politis, kebutuhan dan konteks budaya dan jaman mereka di abad 8-10 M di Irak, Iran dan Syria. Tokoh yang bernama Muhammad ini belum tentu mengatakan dan bertindak seperti apa yang ditulis dalam Sirat, Sunnah dan Hadits yang ditulis 200 tahun setelah wafatnya. Sang Kalifah yang berkuasa, lewat para juru tulisnya, menggiring umatnya pada suatu ideologi bersama yang dilandasi atas intervensi penyelenggara ilahi dalam sejarah, untuk suatu tujuan politik – Communitiy Building. Sekali lagi kita temukan motif yang sama : one God (Allah), one Prophet (Muhammad), one priest (Ali), one ideology (Islam), one king (Al Makmun?), one dinasty (Abbasiyah). Got it ?
Ketika kita melihat “sejarah agama” – sadarlah bahwa itu paling mungkin bukanlah sejarah faktual, namun kisah-kisah yang ditawarkan oleh lingkaran kelompok iman tertentu dalam perspektif keimanan tertentu, dalam motif politik tertentu, yang menginginkan pembacanya untuk mempercayai bahwa kisah-kisah tersebut seakan-akan pernah terjadi. Pelarangan babi dalam Hukum Musa yang sekarang kita ketahui diformulasikan di abad 7 SM dibawah instruksi Yosia, dipercaya bulat-bulat bahwa itu berasal dari tuhan/Yahwe/ Allah, padahal sama sekali bukan. Dengan demikian maka tidak ada dimensi ilahinya di sini, yang ada adalah dimensi antropologi, budaya dan psikologi sosial.
3. Faktor Kearifan Lokal.
Kita tahu bahwa ribuan tahun lalu, kehidupan sangat berbeda dengan sekarang. Pada saat itu kebebasan berekspresi invididu ditenggelamkan dalam peraturan-peraturan keluarga dan kesukuan. Dalam aturan kesukuan kita mengenal pakem-pakem, tabu dan kearifan lokal. Bisa jadi pelarangan babi, disamping faktor totem dan geografis Yudea yang tak memungkinkan, juga dikarenakan faktor kearifan lokal. Suku-suku Israel memandang babi sebagai hama yang harus dienyahkan, dimusuhi bagi pertanian mereka yang memang tidak bagus. Menyukai babi berarti memberi lahan bagi pembudi-dayaannya. Dari mana mereka mendapatkan pakan berlimpah untuk babi-babi ini yang dikenal rakus, sementara ladang mereka pun tidak cukup subur ? Silahkan anda pikirkan hal ini.
Selain babi dianggap binatang yang rakus dan pemalas (dan ini subyektif sekali !), cara pemotongan babi yang dianggap tidak wajar oleh suku-suku Israel memungkinkan pelarangan babi itu. Setahu saya babi tidak dipotong dileher yang dianggap wajar oleh orang Yahudi dan Islam, yang sebenarnya juga praktek yang tidak berkepribinatangan juga, melainkan dipukul dan disiksa dahulu. Di Barat yang modern mereka mengharamkan praktek pembunuhan pada ternak tanpa pembiusan terlebih dahulu, dan saya percaya ini juga berlaku pada pemotongan babi. Jadi anda bisa lihat, dengan akal yang sehat, kita bisa mengurangi kekerasan pada mahluk lain, sekalipun pembunuhan memang tak terhindarkan.
Nah, sekarang adakah sudah jelas semuanya? Intinya, semua fenomena keagamaan harus dicermati secara kritis dari perspektif sejarah, budaya, antropologi, psikologi sosial dll yang runut, rasional dan logis, bukannya lewat cocologi spiritual yang mengait-kaitkan sains untuk mendukung asumsi bahwa ada sesosok intelegent supranatural yang tahu masalah higienis tidaknya suatu produk makanan, tapi di lain pihak sosok ilahi itu bertindak ceroboh, lalai, diskriminatif dan konyol dengan memberikan agama-agama pada manusia sebagai standar kebenaran mutlak dan malah cenderung jadi piranti pencuci otak kaum yang intelektualitasnya kurang dan kendaraan politik bagi para penguasa.
Thanks.
oleh Aajin Sang Musafir